DIMAS ARIKA MIHARDJA : SUMBANGANNYA DALAM DUNIA PUISI INDONESIA
oleh Djazlam Zainal pada 01 Desember 2010 jam 22:54
Saya tercari-cari nama Dimas Arika Mihardja ( selepas ini DAM saja ) dalam dunia kepenyairan Indonesia. Sejumlah nama penyair muda selepas generasi besarnya, Chairil Anwar, Goenawan Muhamad, W.S. Rendra, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Linus G. Suardji, Ehma Ainun Nadjib yang diteruskan pula oleh Afrizal Malna, Jose Rizal Manua, Acep Zam Zam Noor, Soni Farid Maulana, Sitok Srengenge, Jamal D. Rahman, Radhar Panca Dahana, Juniarso Ridwan, Beno Siang Pamungkas dan lain-lain, saya juga tidak melihat kelibat DAM di antaranya. Namun dalam kumpulan puisi Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia ( Gramedia, 2002 ) ditemui tujuh buah puisi DAM iaitu, Sajak Sederhana Untukmu, Perjalanan ( 2 ), Perjalanan ( 4 ), Kado Ulang Tahun, Masjid Agung Al-Fallah, Candi Muara Jambi serta Riak dan Ombak Batanghari. Korrie Layun Rampan dalam pengantarnya mengatakan, para penyair angkatan ini tanpa canggung mempertemukan pelbagai unsur vital dari berbagai realitas yang menjadi trend pemikiran abad ini. Bagi memperlihatkan kehadiran itu, saya perturunkan puisi Aku Sentiasa Menyeru, seperti berikut;
Aku sentiasa menyeru tanpa jemu ketika sawahsawah
rekah dan bumi tengadah memeram wajahwajah
gelisah petani yang menggigil. Aku
sentiasa tiada lelah memapah jiwajiwa resah
menuju lembahlembah yang dibanjiri darah. Aku
terus melangkah mengucurkan darah ketika penyair
kehilangan katakata kerana bahasa telah pecah
berdarahdarah
....
aku sentiasa mjenyeru kamu yang tanpa ragu
memangsa sesama yang begitu menderita
sentiasa menyeru kamu yang tanpa perasaan
memakan masa depan dalam memuaskan
nafsunafsu menggebu
Puisi DAM ini pernah mendapat sorotan Sutardji yang mengatakan bahawa puisi-puisi mutakhir DAM membayangkan penyambutan gayung pemuisian yang terdahulu. Sudah tentu yang dimaksudkan Sutardji ialah bayangan Rendra ataupun Taufiq Ismail. Dengan keupayaan DAM yang jelas keseluruhan besar puisinya mengutus silaturahmi. Suara DAM bukan hanya ' bergeser ' atau ' memprotes ' tetapi jauh dari itu mengutus salam dukacita kebobrokan yang paling edan di luar dirinya.
Kembali memperkatakan DAM dalam kumpulan puisi terbarunya, Sajak Emas 200 Puisi Sexy ( Kosa Kata Kita, Jakarta, 2010 ) kita ditemukan dengan 200 puisi DAM yang mutakhir yang amat setia dengan langgam dan sosok kata-katanya. Seperti biasa, suara lirih DAM mengatakan, kumpulan puisi ini tidak bermaksud apa-apa, cuma menandakan DAM masih terus setia dengan dunia kepenyairannya. Kerana baginya, 25 tahun bergulat dalam puisi, beliau telah menghasilkan enam buah antologi puisi persendirian iaitu Sang Guru Sejati ( 1991 ), Malin Kundang ( 1993 ), Upacara Gerimis ( 1994 ), Potret Diri ( 1997 ) Ketika Jarum Jam Leleh dan Lelah Berdetak ( 2003 ) Kehadiran Sajak Emas ( 2010 ) ini, saya rasa melengkapkan keseluruhan puisi yang lebih awal. 25 tahun adalah separuh dari usia DAM ( lahir pada tanggal 3 Juli 1959 ) yang digulati dengan puisi.
Menurut Dr. Sudaryono, yang merupakan dosen puisi pada Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Jambi, DAM dalam dunia puisi Indonesia, belum memiliki apa-apa makna. Ketika usianya berada di ambang sore dan mengarah ke rembang senja, ternyata belum ada yang pantas dicatat dan diberi tempat. Prestasi karyanya biasa-biasa sahaja, walau pun sentiasa mengalir ( pengantar Beranda Senja, Jakarta, 2010. hal 5 )
Sebuah kritikan atau sorotan biasanya adalah pemantul wajah dan kendiri diri. Bermacam refleksi dapat dipantulkan dan kritikan seumpama ini. Saya mahu melihatnya dalam ruang dan keadaan yang berbeda. Dasar-dasar estatika dalam bentuk naratif ( Muhamad, 1988 ) menyatakan,
1. Karya menceritakan tentang kehidupan
2. Dunia pengalaman yang dirundung kesusahan, kesengsaraan dan duka lara
3. Sastra sebagai bayangan kenyataan
4. Didaktik
5. Alam ajaib
6. Struktur yang episodik
7. Sifat dramatik
Daripada garis panduan di atas, mari kita telusuri puisi-puisi DAM satu persatu.
Tentang kehidupan, lihatlah bagaimana DAM berdetak.
Ketika jarum jam lelah dan leleh berdetak
tubuh lilin pun mengabu dalam kembaramu
engkaulah kembaraku
Ketika jarum jam lelah dan leleh berdetak
saat adalah segala sayat yang memahat tubuh
engkaulah tempat berlabuh
...
jarum leleh, jam lelah berdetak
lilin mencair kembali ke asal sebagai alir
aku dan engkau terseret pusarannya
kembali ke pusara
makna
( Ketika Jarum Jam Meleleh, hal. 105 )
DAM mengambil detak jarum jam sebagai simbol kehidupan. Apabila hidup manusia dikira dari detik jam, nescaya kehidupan manusia akan pukal dan terjungkal. Kerana katanya, setiap saat tubuh dipahat oleh oleh rasa sayat yang jauh. DAM juga melihat perbandingan tubuh umpama lilin. Lilin biasanya diinterpritasi kepada wanita yang mudah mencair dengan dorongan dan cubaan tetapi bagi DAM tubuh manusia seluruhnya adalah lilin. Dapat dimaknakan begini, setiap tubuh akan mencair ( fana ) dan setiap tubuh juga bisa dibentuk ( sifat lilin yang tidak nyali ) baik buat pria atau wanita.
Kehidupan dalam puisi-puisi DAM sangat berbaur. Dalam puisnya, Mendulang Kerlip Bintang ( hal. 92 ) DAM menulis,
Kau telah mengajarkan bagaimana membaca cahaya
mengurai pendar dan kilaunya pada padam lampu. merindumu
malam gelap melindap mengisyaratkan dekap yang begitu hangat
aku menangkap sorot matamu yang menunjukkan arah jarum jam
menunjuk bintangbintang yang bertaburan di langitlangit hatimu
mendulang kerlipan bintang di matamu
aku mengeja kembali makna perjumpaan
mengabadikan cerlang pandang tak jemu
Sekali lagi DAM menunjukkan arah jam sebagai jalan kita menafsir gelap malam.
Kenapa DAM menyaran kita berisolusi dalam gelap malam. Apakah ada dalam kegelapan malam? DAM cuba melihat yang demikian dengan pendar dan kilaunya, bagi mereka yang merindu! Sungguh hebat DAM bersiasah. Manusia yang sering membutakan matanya dalam terang cahaya, DAM melihatnya dalam pendar dan kelam cuaca.
Kehidupan tidak mungkin habis disorot dalam sosok fizikal semata. DAM mempertimbangkan pengalaman peribadi, sosial dan religius yang bersifat kontekstual. DAM bersaksikan pengalaman dalam mentafsir arti kehidupan. Katanya, sebagai suatu kesaksian kehidupan, puisinya mengabadikan peristiwa. Keseluruhan puisi DAM adalah kesaksian kehidupan beliau kepada kehidupan.
Lihat bagaimana DAM menyorot Dunia Maya ( hal. 162 )
lagu ungu melintas bebas hambatan:
" pernahkah kau merasa, hatimu hampa... "
ya, maya, ya ya kau tak pernah benarbenar masuk ke dunia real
setelah dia terpenjara tanpa pengadilan, jauh dari pengampunan
sebab video yang durasinya amat pendek dengan kualitas gambar amatir
hanya mendesirkan sebuah desah yang tak tentu arah
lagu lain, menabrak ruang kosong:
" akulah arjuna yang mencari cinta... "
dan cinta yang kausebutsebut itu mengabut
lenyap dari segala rasa di dada manusia
tetapi selalu saja kaujajakan cinta di ruang paling maya
maka mayatlah sejatinya cinta itu
lagu pak haji tak kalah mengudara:
" judi, kau racuni keimanan..."
dan engkau selalu menuhankan ruang maya sebagai tuhan
melupakan sembahyang dan ibadah
menyembah sesuatu yang hampa belaka!
Ada tiga sosok yang mahu ditumpu oleh DAM dalam Dunia Maya. Pertama, dunia jungkirbalik ruang pengadilan yang selalu pongah. Kedua, dunia percintaan ( monyet ) yang konyol membahagikan nyawa untuk cinta sejati. Dan ketiga, dunia pak haji ( ulama ) yang melihat duniawi melebihi upayanya pada Ilahi. Tiga kombinasi Dunia Maya ini berlaku di mana-mana, bukan sahaja di Indonesia, malah di seluruh lipatan alam maya Tuhan ini.
Surealisme juga ada dalam penampilan DAM. Sajak Perahu ( hal. 121 ) menjelaskan ini.
perahu perahan jiwaku melaju menujumu, kekasih
berselancar di kedalaman debar kerinduan
kecipak air membasuh jiwa resah
basah pula harap nan lindap
pada tiang layar angin gementar
engkau kian samar dan aku serupa camar yang mengelepar
Sesekali bagaimana penyair mencari ketenangan dengan merapatkan diri kepada Tuhannya. Dirinya umpama perahu dan melaju menuju kekasih. Puisi ini amat basah dengan cinta Ilahi. Kerana ia merupakan puisi penyerahan, lihatlah bagaimana penyair menggunakan huruf ' r ' dalam beberapa hujungan antaranya berselancar, debar, tiang layar, angin gementar, kian samar, serupa camar dan yang mengelepar. Hujung konsonan yang bunyinya keluar secara terus, dapat kita rasakan melodinya. Di Malaysia, bunyi sedemikian dimainkan oleh A. Latif Mohidin. Begitu juga dengan Manisku ( hal. 113 )
kucing dalam darah mengeong dengan resah
menjilatjilat bibir malam. ia ingin membuka rahasia
cinta dengan berjuta doa
kucing dalam aortaku berontak. lasak. lari
menabrak dan masuk ke dalam gelap. mataku berkilau
serupa cahaya lampu yang berkelip
dalam dadamu
seperti katakata ia melata, merayap, berkelibat
jalin menjalin menjadi frasa
untai menguntai menjadi wacana
terungkai jadi permata yang kukalungkan pada lehermu
kekasih
Siapa kucing? Tentu ia bukan kucing yang asli. Tentu kucing hanya simbol belaka. Simbol bagi manusia yang mencari belai. Susah tentu kucing yang amat ramah pada tuannya @ Tuhannya.
DAM bersiasah. Tidak hanya pada kucing tetapi juga pada Semiotika Burung ( hal. 115 )
pada reranting berserak, anakanakku
bernyanyi serak, cuap cuap crit crit cit cericitnya
mengapai langit
sebagai garuda, aku selalu siap
membentangkan sayap
melindungi sesiapa yang kan menyergap
aku bukanlah pajangan
dalam genggaman kecengkeram
keyakinan!
Ya, jelas sekali DAM mengambil perbandingan semua yang ada di sekitarnya.
Sajak menurut Micheal Riffaterra, " express concepts and tings by indirection " ( 1978:1 ) Sajak dibina melalui mainan ayat-ayat yang disengajakan lewat kepekaan penyair. Sudah tentu penyair mempunyai daya peka yang tinggi umpamanya fantasi, ilusi, imaginasi dan eksplotasi bahasa. Karya seni yang lahir adalah refleksi lain dari bentuk yang yang asal. DAM kelihatannya berhasil dengan percaturannya itu.
Kalau memang dikatakan didaktik, ada kesahihannya. DAM berpuisi secara datar, tidak menyusur ke dalam apatah lagi menyelami kemungkinan-kemungkinan. Sebagai penyair, DAM memilih memotret, tidak terlalu mengkoreksi apatah lagi memperbaiki mana-mana pemandangan yang cacat. DAM amat peka. Kepekaan ini menyebabkan DAM tidak pernah lari atau beringsut ke arca yang lain. Rasanya selama 25 tahun, DAM bersuara dalam ritme dan bahasa yang sama, yang dilihat oleh kritikus sebagai penyair yang tidak punya perkembangan.
Di Malaysia, ada beberapa penyair yang berkembang dari masa ke semasa. Perkembangan pertama dilihat dari aliran puisi. Dari realism kepada surealism yang lebih ambigius. Ada yang lari dari persoalan realism kepada persoalan religius berikutan peningkatan usia penyairnya. DAM masih seperti dulu, puisinya masih sarat dengan cinta, dengan harga diri manusia. Malah saya merasakan, akhirnya khalayak akan bisa menerima cara DAM berpuisi dengan kadar yang seminimal mungkin. DAM harus ada dalam peta puisi Melayu Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar